Bagi nakama pongo yang pernah berinteraksi dengan orang Jepang secara langsung atau berlibur ke Negeri Sakura, tentu sudah tidak asing dengan ketepatan waktu Jepang yang berbanding terbalik dengan Indonesia yang terkenal dengan budaya “telat”. Kalau dalam bahasa Jepang, kebiasaan buruk Indonesia ini disebut dengan ゴム時間 alias Jam Karet. Akan terasa sekali perbedaannya ketika kita berjalan-jalan ke Jepang dan merasakan sensasi tepat waktunya. Di Jepang, tepat waktu adalah patokan sopan santun, dan telah ditanamkan sejak kecil. Sedikit terlambat saja bisa menjadi masalah yang besar, loh! Konteks tepat waktu ini tidak hanya sekedar tidak terlambat saja, terlalu cepat juga tidak dianggap baik oleh mereka.
Pada bulan Mei 2018, perusahaan kereta api di Jepang, JR – West Railway, meminta maaf karena keretanya berangkat 25 detik lebih awal dari jadwal, dimana seharusnya kereta dari Stasiun Notogawa berangkat pada pukul 7.12, tetapi karena kesalahpahaman kondektur pada waktu keberangkatan, kereta berangkat pada pukul 7.11 lewat 35 detik. Meski kejadian ini tidak memberi pengaruh apa-apa terhadap jadwal kereta yang lain, satu penumpang kereta protes sehingga memicu kritikan publik yang memaksa perusahaan itu untuk meminta maaf secara terbuka. Bahkan, sempat menjadi bahan perbincangan luas di Jepang dan dianggap sebagai kesalahan besar yang dilakukan oleh JR – West Railway.
Mengenai ketepatan waktu itu sendiri, sebenarnya ada beberapa hal yang harus kita pahami. Bagi jaringan kereta api, definisi tepat waktu berarti kereta datang sesuai dengan jadwal yang ditentukan. Tidak terlambat, tetapi tidak juga lebih cepat. Namun, dalam konteks bekerja dan bersekolah, definisi tepat waktu perlu dikaji ulang. Misalkan, apabila kita harus datang ke kantor pada pukul 8, dan kita tiba di lokasi tepat pukul 8, kita akan dianggap terlambat.
Ternyata, jika kita diharapkan untuk tiba pada pukul 8, atasan menganggap kita bisa memulai pekerjaan tepat pukul 8, bukan baru saja tiba pada waktu tersebut. Nakama pongo diharapkan untuk datang lebih cepat dan mempersiapkan diri sebelumnya, kemudian bekerja sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan. Sehingga dalam hal ini, tepat waktu adalah ketika kita tiba 15 menit lebih cepat dan memiliki waktu untuk mempersiapkan diri, kemudian kita mulai bekerja tepat pada pukul 8.
Beberapa waktu lalu, Menteri Penanggung Jawab Olimpiade, Yoshitaka Sakurada didesak untuk meminta maaf kepada seluruh masyarakat Jepang karena terlambat tiga menit dalam sebuah rapat parlemen. Dalam BBC, Dia juga didesak mundur karena beberapa perilaku yang dianggap tidak layak sebagai seorang anggota parlemen.
Hal ini bukan terjadi untuk pertama kalinya di Jepang. Tidak hanya tokoh publik, layanan publik, pegawai perkantoran, dan institusi-institusi di Jepang sangat mencela keterlambatan. Atau lebih tepatnya, ketidak tepatan waktu. Pada Mei 2018, perusahaan kereta api di jepang JR-Railways meminta maaf karena tiba 25 detik lebih awal dari yang dijadwalkan, dan karenanya seorang penumpang ketinggalan kereta. “Kami sangat mengecewakan customer kami, dan kami berjuang untuk mencegah agar ini tidak terjadi lagi,” kata pihak JR West kepada Koran Asahi, seperti dikutip Asia One.
Ketepatan waktu adalah hal yang sangat penting bagi orang Jepang dan dianggap sebagai salah satu patokan sopan santun. Mereka diajarkan untuk tepat waktu sejak kecil. “Orang tua ku selalu mengatakan pada ku bahwa penting untuk tidak terlambat, untuk berpikir bahwa orang akan merasa tidak nyaman karena aku terlambat dari yang telah dijadwalkan, dan aku menempatkannya pada situasi sulit,” kata Issei Izawa, seorang mahasiswi seperti dilansir South China Morning Post. Kisah serupa juga dialami oleh Kanako Hosomura, seorang ibu rumah tangga di Prefektur Saitama, yang benci jika terlambat, meskipun hanya beberapa menit. “Saya sangat mending untuk datang lebih awal dari janji karena itu lebih baik daripada membuat seseorang menunggu,” katanya. Sebaliknya, dia tidak sudi menunggu teman yang terlambat membuat yang lain merasa tidak nyaman.
Alasan Orang Jepang Disiplin Waktu
Karakter masyarakat Jepang yang sangat mengagungkan ketepatan waktu adalah hal menyenangkan untuk di bahas bagi masyarakat dunia, dan dianggap sebagai sebuah kebudayaan bangsa Jepang itu sendiri.
Ketepatan Waktu Berpengaruh Terhadap Perekonomian
Namun, sebenarnya ketepatan waktu berpengaruh kepada perekonomian. Pekerja Inggris yang terlambat merugi sebesar 9 miliar euro (atau sekitar 11,7 miliar dolar AS), dari laporan singkat Heathrow. Lebih dari setengah orang yang di survei dalam laporan tersebut terlambat kerja dan pertemuan biasa. Sama dengan di Amerika Serikat, keterlambatan juga menjadi sebuah momok. Di New York, pekerja yang terlambat merugikan daerah sebesar 700 juta dolar AS, sedangkan California merugikan daerah sebesar 1 miliar dolar AS di tahun 2018 seperti dilaporkan Inc Magazine. Menurut laporan tersebut, keterlambatan menyebabkan pekerja menjadi kurang produktif di tempat kerja dan hal tersebut menghambat pencapaian perusahaan. Selain dirinya sendiri, pekerja yang terlambat juga membuat kinerja tim menjadi kurang produktif.
Jepang Memulai Budaya Tepat Waktu
Sebuah penelitian yang dilakukan Takehiko Hashimoto dari Universitas Tokyo, yang melakukan penelitian dengan mempelajari catatan seorang Belanda, Willem Van Kettendyke yang mengunjungi Jepang pada masa Edo (1603-1868). Dalam catatan, Kattendyke menggambarkan bagaimana sistem waktu Jepang yang sangat sederhana, dan kesopanan orang-orang Jepang. Salah satu hal yang mengecewakan adalah bagaimana warga Jepang tidak paham dengan waktu.
Berbeda dengan jam tetap, waktu di Jepang dibagi menjadi 6 partisi yang disebut “koku”, yang mana setiap bagian waktu ditandai dengan dengan memukul gong di beberapa titik dalam sebuah wilayah. Pada era restorasi Meiji (1868-1912) tepatnya tahun 1873, Jepang menerima sistem Jepang ala Barat, dan melakukan akulturasi (perpaduan budaya asing dan lokal) terhadapnya. Jepang mulai mengenal sistem 24 jam ala Barat. Namun, sistem yang kemudian diberi nama “watokei” tersebut menggunakan penomoran Cina. Mungkin, penemuan sistem jam di Barat pada abad ke-15 mengubah kultur di Eropa, namun, pengenalan sistem Jepang terhadap sistem jam pada akhir abad ke-16 tidak cukup mengubah kultur di Jepang, namun paling tidak membuat masyarakat Jepang pada waktu itu lebih mengenal waktu. Restorasi Meiji adalah era yang mengubah segala-galanya di Jepang.
Dalam periode ini lah masyarakat Jepang mulai mengembangkan budaya tepat waktu. Pada era ini diterapkan beberapa hal seperti sistem pendidikan, penanaman moral, dan program pemerintah membentuk masyarakat jepang untuk disiplin dalam waktu. Era Meiji mengakhiri era samurai di Jepang dan banyak Samurai (militer pada zaman itu) beralih profesi menjadi guru karena sistem shogun (sistem feodal dimana tuan tanah yang mempekerjakan Samurai memegang kendali) telah dilarang. Arahan dari Menteri Pendidikan Jepang mengharuskan siswa datang 10 menit sebelum pelajaran dimulai setiap harinya, dan jika tidak mereka akan menerima hukuman atas keterlambatan dari guru mereka yang mantan samurai. Hal tersebut membantu mengajarkan ketepatan waktu pada generasi baru. Era Meiji juga masa dimana modernisasi Jepang dimulai.
Masyarakat Jepang mengubah pakaian mereka, sistem kesehatan dan pendidikan, tari-tarian, kesenian, arsitektur, makanan, dan lukisan semuanya mulai mengadopsi kultur Barat seperti Amerika dan Eropa. Mereka mulai menerapkan sistem waktu 7/24 jam ala Barat dan hari dibagi menjadi 24 jam. Menit dan detik juga mulai diperkenalkan. “Sejak itu, melalui pendidikan, sosial, dan sistem militer, masyarakat Jepang mulai belajar tepat waktu. Terlebih lagi, pada Era Meiji, orang-orang mulai memakai jam mekanik,” kata Mashashi Abe, profesor multikultural dari Waseda Institute for Advanced Studies (WIAS) seperti dilihat dari IEA.
Propaganda “Waktu adalah uang” dan nasionalisme, yang salah satunya mengharuskan tepat waktu dalam rangka menghormati orang lain juga membentuk masyarakat Jepang disiplin terhadap waktu. Ketepatan waktu orang Jepang sering menjadi bahasan di mana-mana, karena sudah tertanam sejak masa sekolah, hal tersebut terbawa hingga dunia kerja. Agar mendapatkan reputasi buruk di Jepang cukup mudah, tinggal datang terlambat. Rekor terlambat pada siswa Jepang juga menjadi catatan buruk yang memengaruhi penilaian universitas. Hukuman sosial turun temurun semacam itu, telah berhasil menerapkan penanaman ketepatan waktu bagi masyarakat Jepang di era modern.
Nah, bagi nakama pongo pecinta Jepang, sikap baik seperti ini wajib kita tiru. Bukan hanya sekedar gaya berpakaian atau berbicara saja, ya! Meskipun Indonesia cukup berbanding terbalik dengan Jepang, tidak ada salahnya kita memulai kebiasaan disiplin waktu ini. Minimal dimulai dari diri kita sendiri, karena kebiasaan itu akan menular secara perlahan terhadap orang-orang di sekitar kita, dan tentunya dapat meluas seiring berjalannya waktu. Meskipun memakan waktu, tapi kita bisa berperan untuk merubah kebiasaan masyarakat yang buruk.
Nakama pongo juga bisa membaca artikel tentang budaya antre di Jepang melalui website berikut
Bagi nakama pongo yang pernah berinteraksi dengan orang Jepang secara langsung atau berlibur ke Negeri Sakura, tentu sudah tidak asing dengan ketepatan waktu Jepang yang berbanding terbalik dengan Indonesia yang terkenal dengan budaya “telat”. Kalau dalam bahasa Jepang, kebiasaan buruk Indonesia ini disebut dengan ゴム時間 alias Jam Karet. Akan terasa sekali perbedaannya ketika kita berjalan-jalan ke Jepang dan merasakan sensasi tepat waktunya. Di Jepang, tepat waktu adalah patokan sopan santun, dan telah ditanamkan sejak kecil. Sedikit terlambat saja bisa menjadi masalah yang besar, loh! Konteks tepat waktu ini tidak hanya sekedar tidak terlambat saja, terlalu cepat juga tidak dianggap baik oleh mereka.
Pada bulan Mei 2018, perusahaan kereta api di Jepang, JR – West Railway, meminta maaf karena keretanya berangkat 25 detik lebih awal dari jadwal, dimana seharusnya kereta dari Stasiun Notogawa berangkat pada pukul 7.12, tetapi karena kesalahpahaman kondektur pada waktu keberangkatan, kereta berangkat pada pukul 7.11 lewat 35 detik. Meski kejadian ini tidak memberi pengaruh apa-apa terhadap jadwal kereta yang lain, satu penumpang kereta protes sehingga memicu kritikan publik yang memaksa perusahaan itu untuk meminta maaf secara terbuka. Bahkan, sempat menjadi bahan perbincangan luas di Jepang dan dianggap sebagai kesalahan besar yang dilakukan oleh JR – West Railway.
Mengenai ketepatan waktu itu sendiri, sebenarnya ada beberapa hal yang harus kita pahami. Bagi jaringan kereta api, definisi tepat waktu berarti kereta datang sesuai dengan jadwal yang ditentukan. Tidak terlambat, tetapi tidak juga lebih cepat. Namun, dalam konteks bekerja dan bersekolah, definisi tepat waktu perlu dikaji ulang. Misalkan, apabila kita harus datang ke kantor pada pukul 8, dan kita tiba di lokasi tepat pukul 8, kita akan dianggap terlambat.
Ternyata, jika kita diharapkan untuk tiba pada pukul 8, atasan menganggap kita bisa memulai pekerjaan tepat pukul 8, bukan baru saja tiba pada waktu tersebut. Nakama pongo diharapkan untuk datang lebih cepat dan mempersiapkan diri sebelumnya, kemudian bekerja sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan. Sehingga dalam hal ini, tepat waktu adalah ketika kita tiba 15 menit lebih cepat dan memiliki waktu untuk mempersiapkan diri, kemudian kita mulai bekerja tepat pada pukul 8.
Beberapa waktu lalu, Menteri Penanggung Jawab Olimpiade, Yoshitaka Sakurada didesak untuk meminta maaf kepada seluruh masyarakat Jepang karena terlambat tiga menit dalam sebuah rapat parlemen. Dalam BBC, Dia juga didesak mundur karena beberapa perilaku yang dianggap tidak layak sebagai seorang anggota parlemen.
Hal ini bukan terjadi untuk pertama kalinya di Jepang. Tidak hanya tokoh publik, layanan publik, pegawai perkantoran, dan institusi-institusi di Jepang sangat mencela keterlambatan. Atau lebih tepatnya, ketidak tepatan waktu. Pada Mei 2018, perusahaan kereta api di jepang JR-Railways meminta maaf karena tiba 25 detik lebih awal dari yang dijadwalkan, dan karenanya seorang penumpang ketinggalan kereta. “Kami sangat mengecewakan customer kami, dan kami berjuang untuk mencegah agar ini tidak terjadi lagi,” kata pihak JR West kepada Koran Asahi, seperti dikutip Asia One.
Ketepatan waktu adalah hal yang sangat penting bagi orang Jepang dan dianggap sebagai salah satu patokan sopan santun. Mereka diajarkan untuk tepat waktu sejak kecil. “Orang tua ku selalu mengatakan pada ku bahwa penting untuk tidak terlambat, untuk berpikir bahwa orang akan merasa tidak nyaman karena aku terlambat dari yang telah dijadwalkan, dan aku menempatkannya pada situasi sulit,” kata Issei Izawa, seorang mahasiswi seperti dilansir South China Morning Post. Kisah serupa juga dialami oleh Kanako Hosomura, seorang ibu rumah tangga di Prefektur Saitama, yang benci jika terlambat, meskipun hanya beberapa menit. “Saya sangat mending untuk datang lebih awal dari janji karena itu lebih baik daripada membuat seseorang menunggu,” katanya. Sebaliknya, dia tidak sudi menunggu teman yang terlambat membuat yang lain merasa tidak nyaman.
Alasan Orang Jepang Disiplin Waktu
Karakter masyarakat Jepang yang sangat mengagungkan ketepatan waktu adalah hal menyenangkan untuk di bahas bagi masyarakat dunia, dan dianggap sebagai sebuah kebudayaan bangsa Jepang itu sendiri.
Ketepatan Waktu Berpengaruh Terhadap Perekonomian
Namun, sebenarnya ketepatan waktu berpengaruh kepada perekonomian. Pekerja Inggris yang terlambat merugi sebesar 9 miliar euro (atau sekitar 11,7 miliar dolar AS), dari laporan singkat Heathrow. Lebih dari setengah orang yang di survei dalam laporan tersebut terlambat kerja dan pertemuan biasa. Sama dengan di Amerika Serikat, keterlambatan juga menjadi sebuah momok. Di New York, pekerja yang terlambat merugikan daerah sebesar 700 juta dolar AS, sedangkan California merugikan daerah sebesar 1 miliar dolar AS di tahun 2018 seperti dilaporkan Inc Magazine. Menurut laporan tersebut, keterlambatan menyebabkan pekerja menjadi kurang produktif di tempat kerja dan hal tersebut menghambat pencapaian perusahaan. Selain dirinya sendiri, pekerja yang terlambat juga membuat kinerja tim menjadi kurang produktif.
Jepang Memulai Budaya Tepat Waktu
Sebuah penelitian yang dilakukan Takehiko Hashimoto dari Universitas Tokyo, yang melakukan penelitian dengan mempelajari catatan seorang Belanda, Willem Van Kettendyke yang mengunjungi Jepang pada masa Edo (1603-1868). Dalam catatan, Kattendyke menggambarkan bagaimana sistem waktu Jepang yang sangat sederhana, dan kesopanan orang-orang Jepang. Salah satu hal yang mengecewakan adalah bagaimana warga Jepang tidak paham dengan waktu.
Berbeda dengan jam tetap, waktu di Jepang dibagi menjadi 6 partisi yang disebut “koku”, yang mana setiap bagian waktu ditandai dengan dengan memukul gong di beberapa titik dalam sebuah wilayah. Pada era restorasi Meiji (1868-1912) tepatnya tahun 1873, Jepang menerima sistem Jepang ala Barat, dan melakukan akulturasi (perpaduan budaya asing dan lokal) terhadapnya. Jepang mulai mengenal sistem 24 jam ala Barat. Namun, sistem yang kemudian diberi nama “watokei” tersebut menggunakan penomoran Cina. Mungkin, penemuan sistem jam di Barat pada abad ke-15 mengubah kultur di Eropa, namun, pengenalan sistem Jepang terhadap sistem jam pada akhir abad ke-16 tidak cukup mengubah kultur di Jepang, namun paling tidak membuat masyarakat Jepang pada waktu itu lebih mengenal waktu. Restorasi Meiji adalah era yang mengubah segala-galanya di Jepang.
Dalam periode ini lah masyarakat Jepang mulai mengembangkan budaya tepat waktu. Pada era ini diterapkan beberapa hal seperti sistem pendidikan, penanaman moral, dan program pemerintah membentuk masyarakat jepang untuk disiplin dalam waktu. Era Meiji mengakhiri era samurai di Jepang dan banyak Samurai (militer pada zaman itu) beralih profesi menjadi guru karena sistem shogun (sistem feodal dimana tuan tanah yang mempekerjakan Samurai memegang kendali) telah dilarang. Arahan dari Menteri Pendidikan Jepang mengharuskan siswa datang 10 menit sebelum pelajaran dimulai setiap harinya, dan jika tidak mereka akan menerima hukuman atas keterlambatan dari guru mereka yang mantan samurai. Hal tersebut membantu mengajarkan ketepatan waktu pada generasi baru. Era Meiji juga masa dimana modernisasi Jepang dimulai.
Masyarakat Jepang mengubah pakaian mereka, sistem kesehatan dan pendidikan, tari-tarian, kesenian, arsitektur, makanan, dan lukisan semuanya mulai mengadopsi kultur Barat seperti Amerika dan Eropa. Mereka mulai menerapkan sistem waktu 7/24 jam ala Barat dan hari dibagi menjadi 24 jam. Menit dan detik juga mulai diperkenalkan. “Sejak itu, melalui pendidikan, sosial, dan sistem militer, masyarakat Jepang mulai belajar tepat waktu. Terlebih lagi, pada Era Meiji, orang-orang mulai memakai jam mekanik,” kata Mashashi Abe, profesor multikultural dari Waseda Institute for Advanced Studies (WIAS) seperti dilihat dari IEA.
Propaganda “Waktu adalah uang” dan nasionalisme, yang salah satunya mengharuskan tepat waktu dalam rangka menghormati orang lain juga membentuk masyarakat Jepang disiplin terhadap waktu. Ketepatan waktu orang Jepang sering menjadi bahasan di mana-mana, karena sudah tertanam sejak masa sekolah, hal tersebut terbawa hingga dunia kerja. Agar mendapatkan reputasi buruk di Jepang cukup mudah, tinggal datang terlambat. Rekor terlambat pada siswa Jepang juga menjadi catatan buruk yang memengaruhi penilaian universitas. Hukuman sosial turun temurun semacam itu, telah berhasil menerapkan penanaman ketepatan waktu bagi masyarakat Jepang di era modern.
Nah, bagi nakama pongo pecinta Jepang, sikap baik seperti ini wajib kita tiru. Bukan hanya sekedar gaya berpakaian atau berbicara saja, ya! Meskipun Indonesia cukup berbanding terbalik dengan Jepang, tidak ada salahnya kita memulai kebiasaan disiplin waktu ini. Minimal dimulai dari diri kita sendiri, karena kebiasaan itu akan menular secara perlahan terhadap orang-orang di sekitar kita, dan tentunya dapat meluas seiring berjalannya waktu. Meskipun memakan waktu, tapi kita bisa berperan untuk merubah kebiasaan masyarakat yang buruk.
Nakama pongo juga bisa membaca artikel tentang budaya antre di Jepang melalui website berikut